Tuesday, January 6, 2015

DIALOG SUNNI VS WAHABI MENGENAI MAULID NABI

[1/4, 9:54 AM] Sb Khuzaifah: 

Wahabi: “Mengapa anda mengerjakan Maulid. Padahal itu bid’ah.”

Sunni: “Maulid itu perbuatan baik, dan setiap kebaikan diperintah oleh agama untuk
dikerjakan.”

Wahabi: “Mana dalilnya?.”

Sunni: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
ﻭَﺍﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Kerjakanlah semua kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. al-Hajj : 77).

Maulid itu termasuk kebaikan, karena isinya sedekah, mempelajari sirah Nabi SAW dan membaca shalawat. Berarti masuk dalam keumuman perintah dalam ayat tersebut.”

Wahabi: “Itu kan dalil umum. Tolong carikan dalil khusus dalam al-Qur’an yang menganjurkan Maulid.”

Sunni: “Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, tolong jelaskan dalil anda yang melarang Maulid.”

Wahabi: “Dalil kami sangat jelas. Maulid itu termasuk bid’ah. Setiap bid’ah pasti sesat.
Rasulullah SAW bersabda: “Kullu bid’atin dholalah.” 
Setiap bid’ah adalah sesat.”

Sunni: “Ah, kalau begitu dalil anda sama dengan dalil kami, sama-sama dalil umum. Yang saya minta adalah, jelaskan ayat atau hadits yang secara khusus melarang maulid.”
Di sini, ternyata si Wahabi mati kutu, dan tidak
bisa menjawab. 

Akhirnya si Sunni berkata: “Anda percaya kepada Syaikh Ibnu Taimiyah?”

Wahabi: “Ya tentu. Beliau itu Syaikhul Islam, ulama besar, dan inspirator dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, panutan kami kaum Wahabi.”

Sunni: “Syaikh Ibnu Taimiyah, membenarkan dan menganjurkan Maulid, dalam kitabnya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621.” Lalu si Sunni menunjukkan teks asli kitab tersebut. Akhirnya si
Wahabi terkejut dan terperangah. Mucanya
seketika menjadi pucat. Kitab tersebut, dia bolak balik, ternyata penerbitnya juga orang Wahabi di Saudi Arabia. Akhirnya ia berkata:

Wahabi: “Syaikh Ibnu Taimiyah itu manusia biasa. Bisa salah dan bisa benar. Masalahnya
Maulid ini tidak memiliki dasar agama yang dapat dipertanggung jawabkan.”

Sunni: “Menurutmu, dasar agama itu apa saja?”

Wahabi: “Al-Qur’an dan Sunnah saja. Selain itu tidak ada lagi.”

Sunni: “Sekarang saya bertanya kepada Anda. Bagaimana hukum seorang anak memukul orang tuanya?”

Wahabi: “Jelas haram dan dosa besar.”

Sunni: “Tolong jelaskan dalil al-Qur’an atau hadits yang melarang memukul orang tua.”

Wahabi: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an;
ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘُﻞْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻑٍّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨْﻬَﺮْﻫُﻤَﺎ
“Maka janganlah kamu berkata uff kepada kedua orang tua dan jangan pula membentaknya.”
Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang anak berkata uff, atau berdesis terhadap orang tua, karena jelas akan menyakiti mereka. Apabila
berkata uff saja dilarang karena menyakiti, apalagi memukul. Tentu lebih berat dalam hal
menyakiti, dan keharamannya lebih berat pula dari pada sekedar berkata uff.”

Sunni: “Owh, ternyata di sini Anda menggunakan
dalil Qiyas. Tadi Anda berkata, dalil itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Sekarang justru Anda
menggunakan dalil Qiyas. Berarti Anda mengakui
Qiyas termasuk dalil, selain al-Qur’an dan Sunnah.”

Wahabi: “Ini kan Qiyas aulawi, dalam artian hukum yang dihasilkan oleh produk Qiyas, lebih kuat dari pada yang ditunjuk oleh teks.”

Sunni: “Harusnya Anda tidak membatasi dalil pada al-Qur’an dan Sunnah saja. Tetapi juga
menyebutkan Qiyas, sebagaimana dipaparkan oleh
seluruh ulama salaf. Anda tahu, bahwa menurut teori Ushul Fiqih, yang juga diakui oleh Ibnu
Taimiyah, produk hukum Qiyas aulawi, lebih kuat dari pada hukum yang diproduk oleh teks. Dalam artian, memukul orang tua lebih haram dan lebih
besar dosanya dari pada hanya sekedar berkata
uff, karena volumenya dalam menyakiti lebih
keras.”
Wahabi: “Di mana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menyebutkan itu?”
Sunni: “Dalam kitab al-Musawwadah fi Ushul al-
Fiqh.” Kemudian si Sunni menunjukkan teks
pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut.
Akhirnya si Wahabi semakin senang, karena
kesimpulan hukumnya sesuai dengan kaedah yang
ditetapkan oleh Syaikhul Islam-nya.
Wahabi: “Terus apa hubungan pertanyaan Anda,
dengan persoalan Maulid yang kita diskusikan?”
Sunni: “Hukum memukul orang tua lebih haram
dari pada sekedar berkata uff. Logikanya begini,
Anda tahu
[1/4, 9:55 AM] Sb Khuzaifah: , mengapa umat Islam dianjurk
an
puasa Asyura?”
Wahabi: “Ya saya tahu. Dalam Shahih al-Bukhari
dan Muslim diriwayatkan:
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ - ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ - ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺪِﻡَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ ﻓَﻮَﺟَﺪَ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻳَﺼُﻮﻣُﻮﻥَ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻋَﻦْ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﺃَﻇْﻬَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻴﻪِ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻭَﺑَﻨِﻰ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴﻞَ ﻋَﻠَﻰ
ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥَ ﻓَﻨَﺤْﻦُ ﻧَﺼُﻮﻣُﻪُ ﺗَﻌْﻈِﻴﻤًﺎ ﻟَﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -
« ﻧَﺤْﻦُ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻤُﻮﺳَﻰ ﻣِﻨْﻜُﻢْ » . ﻓَﺄَﻣَﺮَ ﺑِﺼَﻮْﻣِﻪِ .
“Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Rasulullah SAW
datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang
Yahudi berpuasa Asyura. Lalu mereka ditanya,
maka mereka menjawab; “Pada hari Asyura ini
Allah memenangkan Musa dan Bani Israil
menghadapi Fir’aun, maka kami berpuasa pada
hari tersebut karena mengagungkannya.” Lalu
Nabi SAW bersabda: “Kami lebih dekat kepada
Musa dari pada kalian.” Maka Nabi SAW
memerintahkan umat Islam berpuasa.”
Sunni: “Nah di sinilah hubungannya dengan
Maulid. Memukul orang tua tadi Anda katakana
lebih haram dari pada sekedar berkata uff.
Kemenangan Nabi Musa AS layak dirayakan
dengan ibadah puasa, sedangkan lahirnya
Rasulullah Muhammad SAW jelas lebih agung dari
pada kemenangan Musa. Apabila kemenangan
Musa AS layak dirayakan dengan suatu ibadah,
maka sudah barang tentu lahirnya Nabi
Muhammad SAW lebih layak dirayakan dengan
acara Maulid.”
Wahabi: “Owh jadi begitu ya, maksudnya. Apakah
ada ulama yang menjelaskan pengambilan hukum
Maulid dengan yang Anda sebutkan tadi dari
kalangan ulama besar?”
Sunni: “Ya banyak sekali, antara lain al-Hafizh
Ibnu Hajar dan al-Hafizh al-Suyuthi.”
Wahabi: “Tapi ada satu hal, yang saya kurang
setuju dalam perayaan Maulid. Yaitu berdiri
ketika membaca Ya Nabi. Itu jelas tidak ada
dasarnya.”
Sunni: “Anda pernah menonton orang-orang
Wahabi di Saudi Arabia, ketika membaca nasyid
(syair atau lagu), secara berjamaah dan berdiri?
Kalau tidak tahu, silahkan Anda cari di Youtube,
di situ banyak sekali. Itu mengapa mereka
lakukan?”
Wahabi: “Ya itu kan bernyanyi dan bersyair
bersama. Kalau dengan cara duduk kurang asyik
dan kurang nikmat.”
Sunni: “Maulid juga begitu. Kalau menyanyikan
Ya Nabi Salam sambil duduk, dengan suara yang
keras, kurang asyik juga dan kurang terasa
khidmat. Jadil hal ini tidak ada kaitannya dengan
wajib atau sunnah.”
Akhirnya si Wahabi mengakui kebenaran Maulid
secara syar’i. Alhamduli[truncated by WhatsApp]

No comments:

Post a Comment